Monday, 3 December 2012

Menapaki Bumi Flores


13 Desember 2011. Bertolak dari Universitas Negeri Semarang menuju Bandara Internasional Juanda Surabaya dan selanjutnya singgah di Bandara Ngurah Rai Denpasar menuju Bandara Komodo Labuan Bajo. Mendarat di Bandara Komodo Labuan Bajo pada tanggal 14 Desember 2011 sekitar pukul 09.00 WITA. Masih teringat dalam benak ini ketika berpisah dengan keluarga saat keberangkatan di UNNES. Kulihat dari dalam bus ekspresi haru, terutama ibu yang bercucuran air mata namun tetap melambaikan tangannya. Lambaian tangan itu seolah memberikan arti “Pergilah nak…mengabdilah tuk bangsamu…dan kembalilah untuk kami orang tuamu di sini”. Satu kekuatan besar yang hingga saat ini masih kurasakan, juga doa dari mereka yang tak henti-hentinya dipanjatkan untukku di sini. Dan sekarang  tidak terasa sudah 2 bulan lebih berada di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Hidup di tanah orang bukanlah perkara yang mudah. Apalagi dalam waktu yang tidak sebentar. 1 tahun masa kontrak kami mengikuti program dari pemerintah yang dinamakan SM3T(Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Menjadi pendidik di daerah pelosok, yang jauh dari hingar bingar kota, keterbatasan akses, serta minimnya fasilitas yang berbau teknologi. Di sini aku tinggal bersama 2 teman seperjuanganku. Pak Adi dan Ibu Septi. Kamipun baru kenal karena sebelumnya berasal dari universitas yang berbeda. Kami bertiga tinggal bersama keluarga Bapak Saka(1 istri dan 5 orang anak). Minggu-minggu pertama dahulu terasa berat bagi kami. Keterbatasan listrik, air, dan sinyal adalah hal yang pertama kami jumpai di sini. Untuk mendapatkan air, kami harus mengambilnya di mata waẽ(waẽ dalam bahasa manggarai berarti air). Letak mata air itu berada di balik batu besar dan berada di bawah perkampungan. Harus melewati persawahan yang licin dan berliku-liku jalannya. Satu hal yang menghabiskan waktu dan tenaga demi mengambil air untuk masak dan bersih diri. Namun ketika hujan turun, kami terpaksa mengikuti kebiasaan warga dengan menggunakan air tadah hujan untuk mandi dan MCK. Sedangkan untuk masak harus tetap mengambil di mata air.
Seringkali pagi hari ketika di bak mandi hanya ada sedikit air kami harus datang ke mata air lebih pagi, karena kalau tidak akan bertemu dengan anak-anak yang hendak mandi di sana termasuk ada murid kita sendiri. Dan pernah satu waktu di mana saya harus mengerjakan sesuatu di dapur, hingga lupa kalau sudah jam 06.00 WITA, dengan sedikit mempercepat langkah menuju mata air sambil membawa handuk,peralatan mandi, dan ember, akhirnya sampai di sana menemui pemandangan yang sedikit mengecewakan. Ternyata sudah keduluan murid-muridku. Ketika salah satu dari mereka ada yang bertanya “ibu mau mandi?” dengan tersenyum ku jawab “iyaa…tapi sudah penuh antrian yaa?”. Waktu itu ingin rasanya kembali saja ke rumah, tapi mengingat perjuangan ke mata air juga tidak mudah, akhirnya kuputuskan mengambil seember air dan kubersihkan wajahku dengan sabun cuci muka, lalu menggosok gigi, dan tak lupa ku basuh lengan dan kakiku dengan sabun. Selesai. Biarlah kuanggap ini mandi. Beberapa muridku dan anak-anak SD justru tidak meneruskan mandi mereka, tapi melihatku melakukan “mandi bebek” tadi. Kalau ingat peristiwa itu, ingin ketawa sendiri rasanya. Akhir Januari 2012, bersama warga kami telah mengusahakan air agar sampai di tengah-tengah penduduk. Sumber mata air berasal dari desa tetangga yang menjadi satu-satunya harapan. Pipa-pipa diperbaiki dan kran-kran yang rusak kami belikan yang baru. Kebetulan di depan rumah tinggal kami, ada kran yang juga untuk dipakai bersama dengan warga. Dan begitu senangnya ketika air mengucur deras dari kran tersebut. Alhamdulillah…ucap syukur ku panjatkan kepadaMu ya Robbi.
Kami tinggal di desa Pau, Kecamatan Rahong Utara Kabupaten Manggarai. Sekitar 15 kilometer dari kota. Di sini PLN belum masuk, jadi jangan pernah membayangkan bisa menonton Televisi kapanpun ingin menonton, atau menghidupkan alat elektronik, bahkan mencharge HP atau Laptop ketika kosong. Listrik di sini menggunakan Mesin Generator dan hanya dinyalakan pukul 18.30 WITA sampai dengan pukul 23.00 WITA. Selebihnya menggunakan lampu pelita. Keterbatasan inilah yang awalnya berat, namun tetap kita jalani dengan senang hati. Saat listrik menyala, dengan bergegas kami langsung mengambil barang kami masing-masing, seperti HP, Laptop, Camera Digital, atau Lampu Emergency yang sudah tak terisi Battery. Dan semisal barang-barang elektronik itu sudah kosong battery di siang hari, tentu tidak ada yang bisa kami perbuat selain menunggu malam tiba. Bisa dibayangkan jika HP lowbatt atau bahkan mati,tentunya sms atau catatan panggilan masuk baru bisa dibaca setelah malam hari, smsnya “sudah kadaluwarsa” kalau kami bertiga menyebutnya dalam sebuah gurauan.
Sekolah tempatku mengabdi di SMPN 8 Ruteng Pau Kecamatan Rahong utara. Sekolah yang jauh dari apa yang ku bayangkan. Bagaimana tidak, sekolah ini berada di puncak bukit. Sehingga untuk sampai ke sana harus dengan jalan kaki dan mendaki ke atas bukit selama 30-45 menit. Bukan hanya itu, di sekolah yang baru didirikan 2 tahun ini, hanya memiliki jumlah total 32 siswa. 16 siswa kelas VII dan 16 siswa kelas VIII. Sedangkan untuk kelas IX belum ada. Setiap ada teman yang ditempatkan di kecamatan lain yang bertanya tentang jumlah siswa di sekolahku, pasti mereka heran dan tertawa saat mendengar jawaban dariku. Ya..tapi itulah adanya. 33 siswa yang harus kami didik, 33 siswa yang menjadi tujuan keberadaan kami di sini. Seperti slogan kami SM3T “Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia”. Pagi ini start dari rumah jam 07.00 WITA. Seperti hari-hari sebelumnya jalan kaki menuju sekolah. 1 hal yang membuat kami harus sarapan ekstra banyak untuk mengumpulkan tenaga agar sampai di sekolah. Bukan perkara mudah bagi kami yang berasal dari Jawa atau lebih tepatnya yang sudah terbiasa tinggal di kota yang serba mudah akses jalannya, ke mana-mana bisa mengendarai motor. Di sini kami harus berjalan kaki dengan medan pegunungan (naik turun). Apalagi musim hujan seperti ini, jalan menjadi becek, dan terpaksa memakai sandal terlebih dahulu untuk dapat sampai di sekolah. Hari ini menjadi rekor bagi saya dan pak Adi, karena bisa menempuh waktu tercepat dari sebelumnya. Pukul 07.15 WITA kami sampai di jalan depan sekolah. Namun itu belum berakhir, karena bangunan sekolah kami belum nampak. Kami harus naik menapaki bebatuan karang sehingga bisa sampai di sekolah. Karena SMPN 8 Ruteng Pau tempat kami mengabdi berada di atas bukit. Kami berjalan naik dengan sangat hati-hati,karena jika tidak bebatuan terjal siap saja mencelakakan kami sendiri. Berjalan beriringan bersama siswa-siswa yang pagi ini wajib membawa air yang ditampung dalam dirigen minyak goreng isi 5 liter. Ya.., memang dalam 1 minggu sebanyak 3x mereka dibebankan untuk membawa air guna persediaan toilet guru di sekolah. Tiap hari selasa, kamis, dan sabtu akan sering melihat pemandangan seperti itu. Begitu susahnya air di sini hingga mereka dibebankan tugas yang harusnya tidak mereka lakukan. Karena hakekatnya itu bukanlah bagian dari tugas dan kewajiban mereka sebagai siswa sekolah.
            Sampai di depan kantor guru, sembari menarik nafas lega tak lupa ku ucap Hamdalah. Hari itu jadwal mengajarku di kelas VII tapi masih menunggu jam terakhir. Ku habiskan waktu di depan Laptop untuk melihat kabar dari internet. Begitupun Pak Adi yang sibuk sendiri dengan jejaring sosialnya. 2 jam tak terasa jika berada di depan laptop, dan tiba-tiba ada yang bersuara dari luar kantor “Ibu awas ada ular masuk…!!!” kata pak Ofan, teman guru yang saat itu berada di teras kantor tepat di depan pintu. Dan yang paling dekat pintu adalah meja kerjaku. Secara spontan dan refleks akupun naik meja yang ada di sebelahku. Pak Adi juga ikut-ikutan naik meja. Pak Ofan dan siswa-siswi yang berada di luar juga panik sembari berteriak ketakutan. Kemudian, Andri siswa kelas VII masuk dengan membawa sebatang kayu. Dipukulkannya kayu itu pada ular yang berusaha meloloskan diri. Dan akhirnya kena. Lantai kantor guru tepat di depan pintu pagi itu penuh bercak darah ular. Semua yang di luar terlihat lega, tapi sesaat setelah melihat posisiku yang berada di atas meja mereka justru tertawa. Akupun baru tersadar setelah mereka menertawakan kami. Sungguh pengalaman yang menegangkan karena baru pertama kalinya hampir kena gigitan ular.
            Hari demi hari kami lalui, dan keberadaan kami di sini tak lepas dari tugas dan tanggung jawab kami tuk mendidik anak-anak di daerah pelosok. Ada satu hal di mana kami mendapatkan semangat untuk mengajar, yaitu melihat semangat siswa-siswi SMPN 8 Ruteng Pau yang begitu antusias untuk menimba ilmu. Jarak tak lagi menjadi penghalang mereka untuk datang ke sekolah. Bukan hanya itu, untuk berangkat “studi sore” yang biasa mereka maknai untuk kegiatan les di sore hari, merekapun seakan tak pernah kenal lelah untuk datang ke sekolah di waktu sore hari, meskipun terkadang atau lebih sering tidak ada guru yang mendampingi meraka. Dengan tekun mereka mencatat buku pelajaran atau mengerjakan PR yang diberikan guru. Mungkin semangat itulah yang menjadikanku lebih bersemangat dalam mendidik mereka.
            Selain mendidik siswa, kami juga memiliki peran lain. Hidup di tengah-tengah masyarakat dan bersosialisasi dengan mereka yang memiliki adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda, bahasa yang berbeda, agama yang berbeda, serta hal-hal lain yang tentunya berbeda dari kami. Namun keberadaan kami sebagai guru(pendidik) di sini, mendapat kedudukan yang bisa dikatakan tinggi. Guru sangat dihormati dan hampir setara dengan tokoh agama. Begitu hormatnya mereka pada guru, apalagi menurut pengakuan dari induk semang kami,Bapak Saka bahwa guru, apalagi yang berasal dari jawa sangat dihormati dan disenangi. Hal ini memang terbukti secara nyata dan kami alami sendiri. Selang beberapa hari kami tiba di desa ini, kabar tentang keberadaan kami sudah terdengar oleh warga desa. Anak-anak kecil, dewasa, orang tua sering berkunjung ke rumah kami, hanya demi melihat kami dan mungkin untuk menghilangkan rasa penasaran ingin melihat kami. Namun tidak hanya itu, banyak dari mereka yang sering membawa sayuran hasil kebun untuk diberikan pada kami. Hampir tiap hari ada tetangga atau warga desa yang memberi sayur mayur pada kami. Bisa dikatakan kami tidak pernah mengeluarkan uang untuk membeli sayur, karena sayur di sini gratis bahkan datang sendiri. Perbedaan agama juga tidak menjadikan jarak pemisah di antara kami bertiga dan warga desa yang semuanya beragama katolik. Sampai saat ini kami tidak pernah mendapat suatu halangan dalam menjalankan ibadah sholat ataupun yang lain. Justru rasa toleransi mereka kepada kami sangat tinggi. Dan dalam adat mereka, jika dalam suatu kunjungan tamu yang pertama, harus dijamu makan dengan ayam. Jika mereka mengundang kami, mereka tidak masak ayam itu terlebih dahulu. Namun menunggu kedatangan kami dengan menyiapkan seekor ayam yang masih hidup dan meminta kami memotong ayam tersebut sesuai ajaran dan keyakinan kami setelah kami sampai di rumah mereka. Setelah itu baru mereka masak khusus untuk kami dengan periuk yang berbeda. Sebuah penghormatan dan perlakuan istimewa dari warga desa yang hidupnya masih sangat sederhana. Itulah yang menjadikan kami mengambil hikmah, bahwa hidup akan terasa indah jika toleransi antar umat beragama benar-benar dijalankan.
   ^_^
@teenz'


Menapaki Bumi Flores Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 comments:

Post a Comment