13
Desember 2011. Bertolak dari Universitas Negeri Semarang menuju Bandara Internasional
Juanda Surabaya dan selanjutnya singgah di Bandara Ngurah Rai Denpasar menuju Bandara
Komodo Labuan Bajo. Mendarat di Bandara Komodo Labuan Bajo pada tanggal 14
Desember 2011 sekitar pukul 09.00 WITA. Masih teringat dalam benak ini ketika
berpisah dengan keluarga saat keberangkatan di UNNES. Kulihat dari dalam bus
ekspresi haru, terutama ibu yang bercucuran air mata namun tetap melambaikan
tangannya. Lambaian tangan itu seolah memberikan arti “Pergilah nak…mengabdilah
tuk bangsamu…dan kembalilah untuk kami orang tuamu di sini”. Satu kekuatan
besar yang hingga saat ini masih kurasakan, juga doa dari mereka yang tak
henti-hentinya dipanjatkan untukku di sini. Dan sekarang tidak terasa sudah 2 bulan lebih berada di
Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Hidup di tanah orang bukanlah perkara
yang mudah. Apalagi dalam waktu yang tidak sebentar. 1 tahun masa kontrak kami
mengikuti program dari pemerintah yang dinamakan SM3T(Sarjana Mendidik di
daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Menjadi pendidik di daerah pelosok,
yang jauh dari hingar bingar kota, keterbatasan akses, serta minimnya fasilitas
yang berbau teknologi. Di sini aku tinggal bersama 2 teman seperjuanganku. Pak
Adi dan Ibu Septi. Kamipun baru kenal karena sebelumnya berasal dari
universitas yang berbeda. Kami bertiga tinggal bersama keluarga Bapak Saka(1
istri dan 5 orang anak). Minggu-minggu pertama dahulu terasa berat bagi kami.
Keterbatasan listrik, air, dan sinyal adalah hal yang pertama kami jumpai di
sini. Untuk mendapatkan air, kami harus mengambilnya di mata waẽ(waẽ dalam bahasa manggarai berarti air). Letak
mata air itu berada di balik batu besar dan berada di bawah perkampungan. Harus
melewati persawahan yang licin dan berliku-liku jalannya. Satu hal yang
menghabiskan waktu dan tenaga demi mengambil air untuk masak dan bersih diri. Namun
ketika hujan turun, kami terpaksa mengikuti kebiasaan warga dengan menggunakan
air tadah hujan untuk mandi dan MCK. Sedangkan untuk masak harus tetap
mengambil di mata air.
Seringkali
pagi hari ketika di bak mandi hanya ada sedikit air kami harus datang ke mata
air lebih pagi, karena kalau tidak akan bertemu dengan anak-anak yang hendak
mandi di sana termasuk ada murid kita sendiri. Dan pernah satu waktu di mana
saya harus mengerjakan sesuatu di dapur, hingga lupa kalau sudah jam 06.00
WITA, dengan sedikit mempercepat langkah menuju mata air sambil membawa
handuk,peralatan mandi, dan ember, akhirnya sampai di sana menemui pemandangan
yang sedikit mengecewakan. Ternyata sudah keduluan murid-muridku. Ketika salah
satu dari mereka ada yang bertanya “ibu mau mandi?” dengan tersenyum ku jawab
“iyaa…tapi sudah penuh antrian yaa?”. Waktu itu ingin rasanya kembali saja ke
rumah, tapi mengingat perjuangan ke mata air juga tidak mudah, akhirnya
kuputuskan mengambil seember air dan kubersihkan wajahku dengan sabun cuci
muka, lalu menggosok gigi, dan tak lupa ku basuh lengan dan kakiku dengan sabun.
Selesai. Biarlah kuanggap ini mandi. Beberapa muridku dan anak-anak SD justru
tidak meneruskan mandi mereka, tapi melihatku melakukan “mandi bebek” tadi.
Kalau ingat peristiwa itu, ingin ketawa sendiri rasanya. Akhir Januari 2012, bersama
warga kami telah mengusahakan air agar sampai di tengah-tengah penduduk. Sumber
mata air berasal dari desa tetangga yang menjadi satu-satunya harapan. Pipa-pipa
diperbaiki dan kran-kran yang rusak kami belikan yang baru. Kebetulan di depan
rumah tinggal kami, ada kran yang juga untuk dipakai bersama dengan warga. Dan
begitu senangnya ketika air mengucur deras dari kran tersebut.
Alhamdulillah…ucap syukur ku panjatkan kepadaMu ya Robbi.
Kami
tinggal di desa Pau, Kecamatan Rahong Utara Kabupaten Manggarai. Sekitar 15
kilometer dari kota. Di sini PLN belum masuk, jadi jangan pernah membayangkan
bisa menonton Televisi kapanpun ingin menonton, atau menghidupkan alat
elektronik, bahkan mencharge HP atau
Laptop ketika kosong. Listrik di sini menggunakan Mesin Generator dan hanya
dinyalakan pukul 18.30 WITA sampai dengan pukul 23.00 WITA. Selebihnya
menggunakan lampu pelita. Keterbatasan inilah yang awalnya berat, namun tetap
kita jalani dengan senang hati. Saat listrik menyala, dengan bergegas kami
langsung mengambil barang kami masing-masing, seperti HP, Laptop, Camera
Digital, atau Lampu Emergency yang sudah tak terisi Battery. Dan semisal
barang-barang elektronik itu sudah kosong battery di siang hari, tentu tidak ada
yang bisa kami perbuat selain menunggu malam tiba. Bisa dibayangkan jika HP
lowbatt atau bahkan mati,tentunya sms atau catatan panggilan masuk baru bisa
dibaca setelah malam hari, smsnya “sudah kadaluwarsa” kalau kami bertiga menyebutnya
dalam sebuah gurauan.
Sekolah
tempatku mengabdi di SMPN 8 Ruteng Pau Kecamatan Rahong utara. Sekolah yang
jauh dari apa yang ku bayangkan. Bagaimana tidak, sekolah ini berada di puncak
bukit. Sehingga untuk sampai ke sana harus dengan jalan kaki dan mendaki ke
atas bukit selama 30-45 menit. Bukan hanya itu, di sekolah yang baru didirikan
2 tahun ini, hanya memiliki jumlah total 32 siswa. 16 siswa kelas VII dan 16
siswa kelas VIII. Sedangkan untuk kelas IX belum ada. Setiap ada teman yang
ditempatkan di kecamatan lain yang bertanya tentang jumlah siswa di sekolahku,
pasti mereka heran dan tertawa saat mendengar jawaban dariku. Ya..tapi itulah
adanya. 33 siswa yang harus kami didik, 33 siswa yang menjadi tujuan keberadaan
kami di sini. Seperti slogan kami SM3T “Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia”. Pagi
ini start dari rumah jam 07.00 WITA. Seperti hari-hari sebelumnya jalan kaki
menuju sekolah. 1 hal yang membuat kami harus sarapan ekstra banyak untuk
mengumpulkan tenaga agar sampai di sekolah. Bukan perkara mudah bagi kami yang
berasal dari Jawa atau lebih tepatnya yang sudah terbiasa tinggal di kota yang
serba mudah akses jalannya, ke mana-mana bisa mengendarai motor. Di sini kami
harus berjalan kaki dengan medan pegunungan (naik turun). Apalagi musim hujan
seperti ini, jalan menjadi becek, dan terpaksa memakai sandal terlebih dahulu
untuk dapat sampai di sekolah. Hari ini menjadi rekor bagi saya dan pak Adi,
karena bisa menempuh waktu tercepat dari sebelumnya. Pukul 07.15 WITA kami
sampai di jalan depan sekolah. Namun itu belum berakhir, karena bangunan sekolah
kami belum nampak. Kami harus naik menapaki bebatuan karang sehingga bisa
sampai di sekolah. Karena SMPN 8 Ruteng Pau tempat kami mengabdi berada di atas
bukit. Kami berjalan naik dengan sangat hati-hati,karena jika tidak bebatuan
terjal siap saja mencelakakan kami sendiri. Berjalan beriringan bersama
siswa-siswa yang pagi ini wajib membawa air yang ditampung dalam dirigen minyak
goreng isi 5 liter. Ya.., memang dalam 1 minggu sebanyak 3x mereka dibebankan
untuk membawa air guna persediaan toilet guru di sekolah. Tiap hari selasa,
kamis, dan sabtu akan sering melihat pemandangan seperti itu. Begitu susahnya
air di sini hingga mereka dibebankan tugas yang harusnya tidak mereka lakukan.
Karena hakekatnya itu bukanlah bagian dari tugas dan kewajiban mereka sebagai
siswa sekolah.
Sampai di depan kantor guru, sembari
menarik nafas lega tak lupa ku ucap Hamdalah. Hari itu jadwal mengajarku di
kelas VII tapi masih menunggu jam terakhir. Ku habiskan waktu di depan Laptop
untuk melihat kabar dari internet. Begitupun Pak Adi yang sibuk sendiri dengan
jejaring sosialnya. 2 jam tak terasa jika berada di depan laptop, dan tiba-tiba
ada yang bersuara dari luar kantor “Ibu awas ada ular masuk…!!!” kata pak Ofan,
teman guru yang saat itu berada di teras kantor tepat di depan pintu. Dan yang
paling dekat pintu adalah meja kerjaku. Secara spontan dan refleks akupun naik
meja yang ada di sebelahku. Pak Adi juga ikut-ikutan naik meja. Pak Ofan dan
siswa-siswi yang berada di luar juga panik sembari berteriak ketakutan.
Kemudian, Andri siswa kelas VII masuk dengan membawa sebatang kayu.
Dipukulkannya kayu itu pada ular yang berusaha meloloskan diri. Dan akhirnya
kena. Lantai kantor guru tepat di depan pintu pagi itu penuh bercak darah ular.
Semua yang di luar terlihat lega, tapi sesaat setelah melihat posisiku yang
berada di atas meja mereka justru tertawa. Akupun baru tersadar setelah mereka
menertawakan kami. Sungguh pengalaman yang menegangkan karena baru pertama
kalinya hampir kena gigitan ular.
Hari demi hari kami lalui, dan keberadaan
kami di sini tak lepas dari tugas dan tanggung jawab kami tuk mendidik
anak-anak di daerah pelosok. Ada satu hal di mana kami mendapatkan semangat
untuk mengajar, yaitu melihat semangat siswa-siswi SMPN 8 Ruteng Pau yang
begitu antusias untuk menimba ilmu. Jarak tak lagi menjadi penghalang mereka
untuk datang ke sekolah. Bukan hanya itu, untuk berangkat “studi sore” yang
biasa mereka maknai untuk kegiatan les di sore hari, merekapun seakan tak
pernah kenal lelah untuk datang ke sekolah di waktu sore hari, meskipun
terkadang atau lebih sering tidak ada guru yang mendampingi meraka. Dengan
tekun mereka mencatat buku pelajaran atau mengerjakan PR yang diberikan guru. Mungkin
semangat itulah yang menjadikanku lebih bersemangat dalam mendidik mereka.
Selain mendidik siswa, kami juga
memiliki peran lain. Hidup di tengah-tengah masyarakat dan bersosialisasi
dengan mereka yang memiliki adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda, bahasa
yang berbeda, agama yang berbeda, serta hal-hal lain yang tentunya berbeda dari
kami. Namun keberadaan kami sebagai guru(pendidik) di sini, mendapat kedudukan
yang bisa dikatakan tinggi. Guru sangat dihormati dan hampir setara dengan
tokoh agama. Begitu hormatnya mereka pada guru, apalagi menurut pengakuan dari
induk semang kami,Bapak Saka bahwa guru, apalagi yang berasal dari jawa sangat
dihormati dan disenangi. Hal ini memang terbukti secara nyata dan kami alami
sendiri. Selang beberapa hari kami tiba di desa ini, kabar tentang keberadaan
kami sudah terdengar oleh warga desa. Anak-anak kecil, dewasa, orang tua sering
berkunjung ke rumah kami, hanya demi melihat kami dan mungkin untuk
menghilangkan rasa penasaran ingin melihat kami. Namun tidak hanya itu, banyak
dari mereka yang sering membawa sayuran hasil kebun untuk diberikan pada kami.
Hampir tiap hari ada tetangga atau warga desa yang memberi sayur mayur pada
kami. Bisa dikatakan kami tidak pernah mengeluarkan uang untuk membeli sayur,
karena sayur di sini gratis bahkan datang sendiri. Perbedaan agama juga tidak
menjadikan jarak pemisah di antara kami bertiga dan warga desa yang semuanya
beragama katolik. Sampai saat ini kami tidak pernah mendapat suatu halangan
dalam menjalankan ibadah sholat ataupun yang lain. Justru rasa toleransi mereka
kepada kami sangat tinggi. Dan dalam adat mereka, jika dalam suatu kunjungan
tamu yang pertama, harus dijamu makan dengan ayam. Jika mereka mengundang kami,
mereka tidak masak ayam itu terlebih dahulu. Namun menunggu kedatangan kami
dengan menyiapkan seekor ayam yang masih hidup dan meminta kami memotong ayam
tersebut sesuai ajaran dan keyakinan kami setelah kami sampai di rumah mereka.
Setelah itu baru mereka masak khusus untuk kami dengan periuk yang berbeda.
Sebuah penghormatan dan perlakuan istimewa dari warga desa yang hidupnya masih
sangat sederhana. Itulah yang menjadikan kami mengambil hikmah, bahwa hidup
akan terasa indah jika toleransi antar umat beragama benar-benar dijalankan.
^_^
@teenz'
0 comments:
Post a Comment